Ilustrasi WA (Grid.id)
Suatu pagi, sudah berbulan-bulan yang lalu, saya sengaja tidak membalas pesan WA Abah, karena posisi kami yang sedang berada dalam satu rumah. Rumah kami—maksud saya rumah Abah—juga tidak seluas lapangan sepakbola. Jadi, saya pikir, saya tak perlu membalas pesannya. Siang hari, Abah pergi, mungkin ke rumah Mbah, hingga sore. Beberapa jam sebelum pulang Abah mengirim pesan lagi. Bunyinya begini: Mohon maaf Abah lancang mengirim alamat video.
Ya. Abah mengirim alamat-alamat video tentang bagaimana mendidik anak. Tapi sayang, ini sangat saya sesali, saya tidak membalas pesan berisi niat baik Abah. Saat itu juga saya ceritakan kejadian itu ke Ummi. Dan jawaban Ummi adalah, bahwa sebaiknya saya membalas pesan itu. Setidaknya mengucapkan terima kasih, karena membalas pesan WA atau sapa orang lain adalah bagian dari keluhuran akhlak.
Bagaimanapun, kejadian seperti ini jamak terjadi. Di antara kalian ada dong pasti yang pesan WA-nya diread doang dan tidak dibalas. Ada dong pasti. Sudah ngaku saja. Negara ini tidak dipimpin rezim represif. Kita tidak perlu minta izin untuk mengatakan bahwa kita sudah dizalimi oleh seseorang dengan caranya yang hanya membaca pesan WA kita dan tidak membalasnya.
Berbuat zalim itu bukan hanya menelantarkan hati anak orang, melainkan juga membuka pesan WA dari seseorang tapi tak membalasnya.
Sekarang pertanyaannya, apa susahnya sih membalas pesan WA?
Saya kira tidak ada susahnya sama sekali, kecuali kalau hati kita terlalu tertutup oleh debu-debu kesombongan. Inilah penyakit orang yang baru sukses: kesombongannya melebihi ilmu dan akhlaknya. Tahu sedikit dada membusung dan berbicara seolah-olah dirinya sudah berhasil melewati siratal mustakim. Naik daun satu lembar saja sudah kikir ilmu dan tidak mau menyalurkan keterampilannya kepada orang lain. Bahkan kalau perlu menutup akses keberhasilan bagi orang lain dan membuka selebar-lebarnya untuk dirinya sendiri.
Meminjam bahasa Benny Arnas, sebagai tokoh publik atau orang yang diakui kapasitasnya dalam hal-hal tertentu oleh publik, saya pikir tidak ada salahnya membalas pesan WA seremeh apa pun isi pesan itu. Beberapa orang, yang tidak ingin membalas WA temannya sendiri, sengaja mematikan nyala biru centang duanya saat sebuah pesan sudah dibuka atau dibaca. Menurut saya ini agak sedikit lebih baik, tapi tetap saja, memperlihatkan kepengecutan diri.
Manusia macam begini biasanya hanya akan membalas WA orang-orang yang dianggap penting, dan tentu saja menguntungkan. Bagi Manusia macam begini kesuksesan adalah saat dirinya hanya bisa membuka dan tidak membalas pesan WA teman sejawat, orang lain yang lebih dulu mengajarinya sesuatu hingga dia menjadi dirinya yang kini, atau bawahan yang terlalu banyak menyampaikan keluhan daripada terobosan-terobosan prestatif.
Tapi, walau bagaimanapun, mereka manusia. Membalas pesan WA bukan hanya karena pesan itu menguntungkan atau tidak, dari orang penting atau bukan, isinya berbobot atau remeh. Tidak. Membalas pesan WA atau sejenisnya tapi dalam label yang lain adalah untuk menghormati keberadaan diri kita sendiri sebagai manusia. Apalagi kaki kita masih menginjak bumi. Kecuali Anda bisa terbang tanpa bantuan pesawat, mesin atau barang teknologi apa pun, Anda boleh tidak membalas pesan WA siapa pun.
Apa yang kita punya selain cinta? Saya kira tak ada. Dan kalau seseorang sudah kehilangan perasaan yang satu ini, ia akan susah menjabat tangan orang lain. Ilmu perasaan adalah ilmu tanpa kitab dan buku panduan. Untuk memahaminya seseorang harus belajar setiap waktu dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Bentuknya bukan bongkahan-bongkahan yang bisa dilihat dan diraba, melainkan dalam bentuk hal-hal tak kasat mata, yang hanya bisa dirasakan dengan hati dan perasaan terdalam.
Terkadang, orang terlalu percaya diri karena sudah memiliki beberapa pengikut, fans, atau semacamnya, yang dianggapnya patuh dan taat. Ketika berada di posisi ini, sebagian orang susah sekali datang dan menghadiri pernikahan teman sejawatnya, terlalu banyak alasan untuk nongkrong dan mengobrolkan masalah remeh-temeh meski setengah jam dengan kawan seperjuangannya. Mereka tidak tahu dan tidak mau menyadari bahwa boleh jadi para pengikutnya yang patuh dan taat itu sebenarnya bukan patuh dan taat kepadanya, melainkan patuh dan taat kepada uang.
Penyakit kita adalah ingin dicintai tanpa harus mencintai lebih dulu. Dan uang bukan sumber cinta yang hakiki. Orang yang mencintai uang akan dengan sangat mudah mengkhianati orang yang memberinya uang atau orang yang membukakan jalan baginya untuk memperoleh uang. Selain berkaitan dengan uang, tak ada hubungan apa pun di dunia ini. Maka, bagi orang-orang macam begini, untuk apa membalas pesan WA jika baginya tidak mendatangkan keuntungan secara finansial.
Tidak membalas pesan WA memang tidak menjadikan karir Anda hancur, atau membuat Anda kelaparan di sepanjang hari-hari yang dingin. Tidak membalas pesan WA juga bukan dosa besar. Tapi, itu berpotensi menyakiti hati orang lain. Jika hati setiap teman Anda merasa sakit hanya gara-gara Anda tidak membalas pesan WA mereka, lalu dari manakah Anda akan memperoleh teman yang tidak hanya bicara tentang masa depan uang tapi juga cinta?
Pada dasarnya, hanya perasaan cinta yang mendatangkan kebahagiaan. Anda boleh saja punya sepuluh gedung apartemen, karyawan lebih dari sepuluh ribu, uang lebih dari seratus bak mandi, atau mobil dengan berbagai merek sebanyak sepuluh kali lapangan bandara Soekarno-Hatta. Tapi, selama Anda tidak punya cinta atau dikelilingi oleh orang-orang yang penuh dengan cinta, Anda hanya akan berakhir di kesepian.
Yang pasti, untuk membangun hubungan yang di dalamnya dipenuhi perasaan cinta, Anda harus memulainya dengan hal-hal kecil yang selama ini Anda tidak sadari. Membalas pesan WA, misalnya, karena membuka saja tanpa membalasnya melahirkan perasaan sakit dan kecewa di hati si pengirim.
Dengan begini, sebenarnya Anda sudah tidak berlaku adil, bahkan kepada diri Anda sendiri.
Komentar