Draf RKUHP dan Krisis Kepercayaan Masyarakat Pada Hukum

Kolom, Esai848 Dilihat

Foto: Ahmad Faruuq Koordinator Pusat BEM Nusantara (Dok/Pri).

Penulis : Ahmad Faruuq*

“Masyarakat merupakan bagian penting dari Negara”

Setidaknya konsep itu masih akan dan terus berlaku bagi negara demokrasi. Negara yang menganut paham dari oleh dan untuk rakyat, menjadikan rakyat sebagai segalanya. Lantas, menjadi hal problematis apabila rakyat tidak diberi keterlibatan dalam urusan dan kepentingan negara!

Belakangan ini tengah ramai RKUHP yang di privasi oleh pemerintah. Pemerintah seolah hendak menutupi suatu kejanggalan-meski ini masih persepsi. Tapi persepsi itu akan dirasakan seluruh rakyat Indonesia dengan absennya keterbukaan pada konstruksi hukum yang ada.

Parahnya, setelah tak terdengar sejak batal disahkan pada tahun 2019, lalu ditunda untuk dimasukkan ke Prolegnas prioritas tahun 2021. Dengan tiba-tiba pemerintah rupanya ‘sudah’ menyosialisasikan kembali draf RKUHP lama yang sarat akan kritik dari publik.

RKUHP merupakan produk yang sangat fundamental. Sebab, ketika kelak diresmikan menjadi KUHP, produk ini akan menjadi landasan hukum untuk seluruh rakyat Indonesia. Yaitu bagaimana mengatur keselarasan antara kepentingan umum atau kepentingan individu, antara perlindungan pelaku terhadap pelaku dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.

Sehingga dengan ketertutupan RKUHP, anggapan masyarakat bahwa hukum tajam ke bawah, hukum tumpul ke atas akan semakin menggeliat.

Beberapa premis itu layak jadi pertimbangan untuk pemerintah dan DPR agar membuka kembali pada publik draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sebenarnya. Krisis kepercayaan masyarakat sudah menuju pada tahap puncak. Akan berbahaya jika krisis tersebut menjadi klimaks.

Realitanya, rakyat nyaris atau bahkan sama sekali tidak percaya terhadap penegakan hukum oleh aparat. Krisis kepercayaan, akan menyebabkan distingsi terpecahnya fungsi negara. Sebab rakyat terus menganggap pemerintah dan DPR adalah tirani dan tembok penghalang.

Padahal, esensi dari demokrasi itu rakyat. Rakyat yang menjadi bagian utama dari sirkulasi negara yang mestinya harus terlibat untuk memberikan catatan-catatan, mengkritisi hal yang masih dianggap kontroversial, dan berdampak serius pada kehidupan sehari-hari. Bahkan, dalam Undang-Undang mensyaratkan adanya partisipasi publik yang meliputi mendengarkan, menerima masukan, dan mensosialisasikan Undang-Undang.

Hal-hal itu tidak akan terpenuhi jika draf RKUHP tidak dibuka untuk publik. Rakyat gagal absen dalam memberikan masukan, memberikan catatan, dan pada akhirnya tercipta sekat jauh dengan pemerintah.

Selain itu, problem lain yang perlu menjadi poin perhatian adalah pembahasan 14 poin isu krusial yang dibahas pada 25 Mei 2022 oleh pemerintah dan DPR. Terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat dengan penyusunan RKUHP.

Perlu digaris bawahi yang dimaksud 14 pasal krusial ini versi siapa, atau sudahkan berpihak pada masyarakat? Oleh sebab ada beberapa rekomendasi yang semestinya dilakukan pemerintah dan DPR.

Pertama, RKUHP haruslah menjadi hak publik. Kedua, untuk melakukan pembahasan terbuka RKUHP, pada semua bahasan RKUHP. Keterbukaan ini sangat penting karena itu titik temu keselarasan kepentingan umum dan kepercayaan publik.

Ketiga, metode penyusunan RKUHP sebaiknya dibahas kembali meski tidak dibahas semuanya. Terutama pembahasan yang berkenaan dengan pasal-pasal dengan potensi membahayakan masyarakat. Sebab, jika keterlibatan rakyat diabaikan oleh DPR dan pemerintah, rasanya negara ini telah gagal memaknai demokrasi.

*Penulis merupakan Mahasiwa Universitas Islam Malang (Unisma) asal Bojonegoro, saat ini menjabat sebagai Koordinator Pusat BEM NUSANTARA.