Penambahan Kursi Pimpinan MPR Abaikan Kepentingan Rakyat

Indonesia1024 Dilihat

Penambahan Kursi Pimpinan MPR Abaikan Kepentingan Rakyat

 

Malang, Indotribun.id Penambahan kursi pimpinan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dari lima menjadi 10 pada periode mendatang dinilai sebagai pengabaian elit politik terhadap kepentingan masyarakat dan mengutamakan kepentingan sendiri.

Hal itu diungkapkan pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun. “Dalam (regulasi) tidak ada jumlah seperti itu. Berarti demi kekuasaan mereka mengabaikan kepentingan rakyat,” ujar Ubed, sapaannya, dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (14/8/2019).

Pengamat politik Univesitas Padjadjran, Idil Akbar, juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda. Pria yang akrab disapa Idil itu mengungkapkan bahwa lembaga negara seharusnya memiliki struktur yang tetap. Idil menilai komposisi tidak bisa diubah hanya demi kepentingan politik sesaat.

MPR seharusnya punya guidence yang jelas terkait struktur lembaga negara. Kalau seperti ini akhirnya orang akan mengatakan ini lebih kepada bagi-bagi kekuasaan dan politik transaksional,” tutur Idil.

Wacana penambahan kursi MPR muncul di sela lobi bagi kekuasaan di kursi kabinet pemenang pemilu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.  Wacana tersebut kali pertama dimunculkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN), yang bersama-sama dengan Nasdem saat ini tidak memiliki wakil di pimpinan MPR.

 

Akomodasi Politik Mengalahkan Urgensi Publik

Argumen utama yang sering dilontarkan untuk membenarkan penambahan kursi pimpinan MPR adalah untuk mengakomodasi semua fraksi partai politik dan kelompok DPD. Tujuannya, agar tercipta suasana kondusif dan semangat gotong royong dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Namun, para pengamat politik, seperti Ray Rangkuti dari Lingkar Madani (LIMA), secara konsisten menyatakan bahwa langkah ini tidak lebih dari sekadar politik akomodatif. Tidak ada manfaatnya (untuk rakyat), itu hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan partai politiknya,” tegasnya.

Logika sederhana pun mempertanyakan, apakah dengan jumlah pimpinan yang lebih sedikit, MPR tidak dapat bekerja? Sejauh ini, tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa kinerja MPR terhambat oleh jumlah pimpinan yang ada. Sebaliknya, penambahan kursi justru dilihat sebagai cara elite politik untuk membagi-bagi posisi strategis, yang sering kali menjadi “kursi panas” untuk membangun popularitas menuju kontestasi politik berikutnya. Ini adalah cerminan di mana kepentingan pragmatis elite mengalahkan prioritas legislasi yang seharusnya berpihak pada rakyat.

 

Beban Anggaran di Tengah Efisiensi Nasional

Konsekuensi paling nyata dari penambahan kursi pimpinan adalah pembengkakan anggaran negara. Setiap pimpinan tambahan berhak mendapatkan berbagai fasilitas kenegaraan, mulai dari gaji, tunjangan, mobil dinas, pengawalan, hingga anggaran untuk staf ahli dan kunjungan kerja. Sebagai gambaran, pada wacana penambahan kursi dari lima menjadi delapan pimpinan beberapa tahun lalu, MPR pernah mengajukan tambahan anggaran hingga ratusan miliar rupiah. Jika jumlahnya terus ditambah, maka beban pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin berat.

Hal ini menjadi sebuah ironi, terutama ketika pemerintah di saat yang sama sering menggaungkan kebijakan efisiensi dan pemangkasan anggaran di berbagai kementerian/lembaga lain untuk program yang lebih menyentuh rakyat. Dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk perbaikan layanan kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur dasar, justru berpotensi tersedot untuk membiayai jabatan politis yang urgensinya dipertanyakan. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat publik yang menginginkan penggunaan uang negara yang efisien dan tepat sasaran.

 

Mendistorsi Prioritas Kinerja Legislatif

Proses revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang diperlukan untuk menambah kursi pimpinan akan menyita waktu, energi, dan sumber daya parlemen. Padahal, masih banyak Rancangan Undang-Undang (RUU) pro-rakyat yang antre selama bertahun-tahun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU seperti Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) atau Masyarakat Hukum Adat, yang dampaknya langsung dirasakan oleh jutaan warga negara, kerap kali terpinggirkan oleh agenda politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan.

Energi legislatif yang seharusnya dicurahkan untuk membahas dan mengesahkan undang-undang yang menjadi kebutuhan riil masyarakat, malah dialihkan untuk urusan internal yang lebih mencerminkan hasrat elite. Ini menunjukkan adanya disorientasi prioritas, di mana parlemen lebih sibuk memikirkan dirinya sendiri ketimbang menjalankan fungsi utamanya sebagai representasi rakyat. Sikap para politikus ini semakin memperlihatkan bahwa mereka sama sekali tidak menempatkan kepentingan rakyat sebagai yang utama.

 

Wacana penambahan kursi pimpinan MPR adalah cermin nyata dari politik transaksional yang mengesampingkan esensi demokrasi perwakilan. Alasan “kebersamaan” menjadi tameng untuk praktik bagi-bagi kekuasaan yang boros dan tidak produktif. Manuver ini bukan hanya mengabaikan kepentingan rakyat dari sisi alokasi anggaran, tetapi juga dari sisi prioritas kerja legislatif.

Sudah saatnya para wakil rakyat di parlemen kembali pada khittah mereka: bekerja untuk rakyat. Kinerja lembaga negara tidak diukur dari seberapa banyak jumlah pimpinannya, melainkan dari seberapa berkualitas produk legislasi yang dihasilkan dan seberapa besar dampaknya bagi kemajuan bangsa. Menolak usulan penambahan kursi pimpinan MPR adalah langkah awal untuk mengembalikan martabat parlemen sebagai lembaga yang benar-benar memperjuangkan aspirasi dan kepentingan publik, bukan sekadar arena akomodasi kepentingan elite partai politik.

 

 

(LF)