Kampus Harus Waspadai Masuknya Gerakan Radikal

Indonesia872 Dilihat

Kampus Harus Waspadai Masuknya Gerakan Radikal

 

Malang, Indotribun.id Kampus Harus Waspadai Masuknya Gerakan Radikal. Kampuskampus di Papua harus mewaspadai gerakan-gerakan radikal yang bertentangan dengan Pancasila. Tidak boleh ada ruang sedikit pun bagi organisasi semacam itu untuk mengadakan diskusi dan menyebarkan ajarannya.

Hal tersebut disampaikan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Fattahul Muluk Papua, Dr. Idrus Alhamid di Gedung Rektorat IAIN Kota Jayapura, Papua, Rabu (14/8/2019).

“Kampus tidak boleh dijadikan tempat diskusi oleh kelompok-kelompok dari luar yang membawa ajaran-ajaran radikal yang bertentangan dengan ideologi negara,” kata Idrus dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (15/8).

Sebagaimana yang ditulis CNN Indonesia, menurut pandangan Idrus, paham radikal yang masuk ke Papua atau menyusup ke kampus-kampus akan merusak tatanan yang telah tersusun baik dan rapi.

 

Lingkungan perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi para intelektual muda, kini menghadapi ancaman serius yang mengintai di balik kebebasan mimbar akademik: infiltrasi gerakan radikal. Sebagai pusat pemikiran kritis dan tempat bersemainya ide-ide besar, kampus secara inheren menjadi medan subur bagi berbagai ideologi. Namun, kerentanan ini sering kali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk merekrut kader baru dan menyebarkan paham intoleran yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan. Oleh karena itu, seluruh elemen sivitas akademika, mulai dari rektorat hingga mahasiswa, harus meningkatkan kewaspadaan dan membangun sistem deteksi dini yang kokoh.

 

Mengapa Kampus Menjadi Target Utama?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara konsisten mengingatkan bahwa perguruan tinggi merupakan salah satu target utama penyebaran paham radikalisme. Ada beberapa alasan mendasar yang membuat kampus begitu rentan. Pertama, mahasiswa berada dalam fase pencarian jati diri. Mereka memiliki semangat idealisme yang tinggi, rasa ingin tahu yang besar, dan sering kali sedang dalam proses mempertanyakan nilai-nilai yang ada. Kondisi psikologis ini menjadi celah yang sempurna bagi kelompok radikal untuk masuk dan menawarkan ideologi alternatif yang dikemas sebagai solusi absolut atas segala problematika bangsa.

Kedua, kebebasan akademik dan otonomi kampus terkadang disalahgunakan. Kelompok radikal sering kali menyusup melalui lembaga dakwah kampus (LDK), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), atau kelompok studi dan kajian yang berkedok kegiatan intelektual. Mereka bergerak secara halus dan sistematis, memulai dari diskusi ringan, kajian eksklusif, hingga akhirnya melakukan doktrinasi ideologi anti-Pancasila secara tertutup. Pola ini sulit terdeteksi jika pengawasan dari pihak rektorat dan dosen lemah.

Ketiga, perkembangan teknologi digital mempercepat penyebaran. Propaganda radikal tidak lagi hanya terjadi di ruang-ruang diskusi fisik. Media sosial menjadi arena pertempuran ideologi yang baru. Dengan algoritma yang canggih, konten-konten berisi narasi kebencian, hoaks, dan ajakan untuk bersikap intoleran dapat dengan mudah menyasar mahasiswa yang sedang galau atau mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial mereka.

 

Modus Operandi dan Ciri-Ciri yang Harus Diwaspadai

Gerakan radikal di kampus tidak datang dengan terang-terangan. Mereka menggunakan pendekatan personal dan membangun ikatan emosional sebelum memasukkan ideologi inti. Beberapa ciri dan modus yang perlu diwaspadai antara lain:

  1. Kelompok Studi Eksklusif: Membentuk lingkaran pertemanan atau kelompok kajian yang sangat tertutup (usrah), di mana materi yang dibahas bersifat rahasia dan hanya untuk anggota.

  2. Narasi Anti-Pemerintah dan Anti-Sistem: Secara konsisten membangun narasi ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang sah (thaghut), demokrasi, dan sistem negara yang berdasarkan Pancasila.

  3. Sikap Intoleran dan Takfiri: Menanamkan sikap mudah mengafirkan (takfiri) individu atau kelompok lain yang berbeda pandangan, bahkan terhadap sesama muslim.

  4. Figur Panutan Tunggal: Mengarahkan anggota untuk hanya merujuk pada satu figur ustaz atau tokoh ideolog tertentu dan menolak pandangan dari ulama atau intelektual lain yang dianggap tidak sejalan.

  5. Perubahan Perilaku Drastis: Mahasiswa yang terpapar bisa menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan, seperti menjadi lebih pendiam, menarik diri dari pergaulan lama, dan menunjukkan sikap permusuhan terhadap anggota keluarga atau teman yang tidak sepaham.

 

Peran Vital Kampus dalam Upaya Pencegahan

Menghadapi ancaman ini, kampus tidak bisa lagi bersikap pasif. Diperlukan langkah-langkah proaktif dan kolaboratif. Pertama, penguatan kurikulum pendidikan kebangsaan. Mata kuliah seperti Pancasila dan Kewarganegaraan harus diajarkan tidak hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai internalisasi nilai-nilai luhur bangsa yang dialogis dan relevan dengan tantangan zaman.

Kedua, pengawasan dan pembinaan organisasi kemahasiswaan. Pihak rektorat, melalui bidang kemahasiswaan, wajib memantau secara cermat setiap kegiatan UKM, terutama yang bersifat keagamaan. Pembina UKM harus merupakan dosen yang memiliki rekam jejak kebangsaan yang jelas dan teruji.

Ketiga, membangun ruang dialog yang sehat. Kampus harus menjadi fasilitator dialog antariman dan antarkelompok untuk meruntuhkan sekat-sekat kecurigaan. Seminar, lokakarya, dan diskusi publik tentang bahaya intoleransi dan radikalisme perlu digalakkan dengan melibatkan narasumber yang moderat dan kompeten.

Keempat, literasi digital. Mahasiswa perlu dibekali kemampuan untuk berpikir kritis dalam menerima informasi dari dunia maya, mampu membedakan antara berita valid dan hoaks, serta memahami bahaya propaganda digital.

 

Benteng Terakhir Intelektualitas Bangsa

Kampus adalah benteng terakhir intelektualitas dan masa depan bangsa. Membiarkan paham radikal tumbuh subur di dalamnya sama saja dengan menyerahkan masa depan Indonesia kepada kelompok-kelompok yang ingin merusak tatanan negara. Kewaspadaan bukan berarti memberangus kebebasan berekspresi, melainkan menjaga agar kebebasan tersebut tidak disalahgunakan untuk menghancurkan fondasi bangsa. Dengan kerja sama erat antara pimpinan universitas, dosen, mahasiswa, dan orang tua, kampus dapat menjalankan fungsinya sebagai agen perubahan yang melahirkan generasi penerus yang cerdas, kritis, dan berjiwa Pancasila.

 

(LF)

Komentar