Budaya Jawa Islam. Foto: Dok/Pri.
Indotribun.id, Edukasi – Malam satu suro dalam tradisi Jawa-Islam sering dianggap sakral dan mistis. Agar tidak ada kesalah-pahaman atau salah kaprah, mari kita mengenal sekilas tradisi ini dengan lebih dekat.
Dirangkum dari laman Kemendikbud, Satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Dalam penanggalan Jawa, hal tersebut dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu.
Penanggalan tersebut juga didasarkan atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial. Yang lebih menarik lagi, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian).
Tanggal 1 Suro biasanya diperingati pada malam hari. Setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu suro. Hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.
Tanggal 1 Suro pun memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap keramat terlebih bila jatuh pada Jumat Legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.
Malam satu Suro yang sangat lekat dengan budaya Jawa, biasanya terdapat ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab. Beberapa daerah di Jawa merupakan tempat berlangsungnya perayaan malam 1 Suro.
Di Kota Solo misalnya, perayaan malam 1 Suro dilakukan dengan hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule. Kerbau bule termasuk pusaka penting milik keraton.
Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Mengutip dari detik.com, menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.
Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam 1 Suro dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Kebo Bule Kyai Slamet.
(San/Put)

As an experienced entrepreneur with a solid foundation in banking and finance, I am currently leading innovative strategies as President Director at my company. Passionate about driving growth and fostering teamwork, I’m dedicated to shaping the future of business.
Komentar