Merajut Kemerdekaan Substantif Bukan Selebratif

Esai550 Dilihat

Merajut Kemerdekaan Substantif Bukan Selebratif

 

Indotribun.id – Merajut Kemerdekaan Substantif Bukan Selebratif. Kalimat sakral yang sering dibaca setiap kali upacara di setiap instansi negara bahkan hampir semua anak bangsa hafal dan lincah mengucapkannya. Di dalam kalimat itu ada spirit filosofis-substansial tentang betapa kejamnya bentuk penjajahan di dunia ini, baik interpersonal maupun kelompok, secara langsung maupun tidak langsung, secara ideologis maupun non ideologis.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, segala bentuk penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dasn perikeadilan” (Pembukaan UUD 1945)

Itulah sebabnya mengapa harus dihapuskan segala bentuk tindakan yang berbau imperialisme karena tidak sesuai dengan ruh kehidupan dan nilai-nilai hakiki kemanusiaan. Manusia pada dasarnya mahluk merdeka atau makhluk yang terbebas dari segala bentuk penindasan. Berupa apa pun penindasan itu. Manusia memiliki hak mutlak untuk menentukan langkahnya sendiri untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya dalam kehidupan nyata. Manusia memiliki hak, di ranah privat, menjaga harga diri, menjaga keluarga dari berbagai tindakan yang mengganggu ketertiban dan keamanan. Begitu pun dalam kehidupan bernegara, yaitu membela tanah air dari tindakan yang mengusik martabat, kedaulatan tanah air, dan yang mengganggu harmonisasi serta stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Semangat itu bisa dilihat dari apa yang telah dilakukan para founding father kita di negeri ini. Mereka tampil berani, sabar, dan rela mempertaruhkan nyawa dan harta benda demi merebut bumi pertiwi dari cengkeraman para penjajah tanpa mempedulikan apa pun resikonya. Mereka berjuang melawan penjajah dengan kekuatan yang seadanya demi menjaga martabat dan kedaulatan tanah air ini agar bebas dari tindakan penjajahan yang tidak manusiawi. Para pejuang kemerdekaan berguguran di medan perang.

Jiwa juang yang dibangun adalah bahwa tanah air harus dijaga meski nyawa taruhannya. Itu dilakukan untuk mewariskan kehidupan hakiki pada kita. Potensi kekayaan alam yang cukup melimpah di bumi pertiwi ini ingin diberikan kepada generasi selanjutnya untuk dieksplorasi dan didayagunakan untuk kepentingan bersama sesama anak bangsa.

Tujuan kehidupan berbangsa adalah merajut semangat persatuan, meski berasal dari beragam suku dan bahasa. Perbedaan harus dilandasi semangat patriotik dan nasionalisme yang tinggi. Mereka menegaskan komitmen perjuangannya dengan berani bahwa sejengkal pun haram hukumnya bumi pertiwi dibiarkan apalagi hingga jatuh pada tangan kolonial yang tidak berkeadilan dan berkeadaban yang tidak memiliki prinsip-prinsip kemanusiaan. Ikhtiar ini cukup memberi isyarat bahwa memperjuangkan tanah air hukumnya wajib ain.

Maka dengan prinsip “Hubbul Waton Minal Iman” bergeloralah semangat nasionalisme dan patriotisme untuk menumpas para durjna di tanah air ini karena mereka hanya menyebar virus kemudaratan dengan merusak tatanan kehidupan sosio-kultural masyarakat pribumi. Sebagai misal, sistem pendidikan yang diskriminatif dan kegiatan sosial yang destruktif. Puncak dari perjuangan berdarah itu adalah tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia menyatakan kemerdekannya. Namun demikian, para founding fathers tetap mengakui kemerdekaan yang dicapai adalah semata anugerah dan rahmat Allah SWT, sebagaimana tersirat pada alinea ke-3 pembukaan UUD 1945.

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekannya.”

Alinea ketiga secara tegas menyatakan bahwa tanpa rahmat dari Allah SWT mustahil Indonesia dapat meraih kemerdekaan dan bebas dari bayang-bayang kooptasi imperialisme. Kemerdekaan itu tidak dicapai semata hasil jerih payah perjuangan bangsa Indonesia tetapi juga atas kuasa TuhanYang Maha Kuasa. Para pejuang sadar akan hal itu bahwa upaya perjuangan masif mereka tidak ada artinya tanpa ada intervensi kekuatan supranatural yang transendental. Menjadi keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk mensyukuri nikmat besar kemerdekaan ini sebagai sarana intermediasi membebaskan manusia dari segala belenggu ketidakadaban dan ketidakadilan.

Lantas bagaimana dengan refleksi kemerdekaan hari ini? Sudah sesuaikah dengan  cita-cita yang diidealkan para pahlawan kemerdekaan?

Nikmat kemerdekaan yang diwariskan para pendahulu kita seharusnya menjadi wahana refleksi kebersamaan yang total. Diisi dengan kegiatan-kegiatan positif, produktif, dan memiliki daya edukatif, dan dapat memperkuat eksistensi NKRI dan menumbuhkan mental patriotik nasionalisme generasi muda. Jika pahlawan dulu dalam merebut kemerdekaan ancaman yang harus dihadapi melawan senjata fisik, maka pahlawan masa kini akan menghadapi ancaman meriam yang lebih bercorak ideologis global. Hal itu terlihat mulai dari sistem pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, dan teknologi informasi digital. Tantangan demi tantangan di era globalisasi ini lebih kompleks dan dahsyat. Karena ancaman yang dihadapi tidak lagi berupa fisik tapi berupa ideologi pemikiran yang diselancar melalui sistem informasi digital, maka modulasi mindset yang harus dimiliki oleh pahlawan masa kini hendaknya diperkuat agar tidak terjebak dengan hal hal negatif yang bisa menyesatkan.

Di berbagai instansi pemerintahan dan pendidikan serentak dilaksanakan beragam tipe kegiatan menjelang 17 Agustus. Seperti pagelaran lomba yang sangat variatif. Mulai dari yang berupa kesenian, keagamaan, hingga kecakapan dan keterampilan. Selain daripada itu hampir di seluruh tanah air dipajang pusaka merah putih sebagai simbol magnetik kebangsaan dan momentum merefleksi kembali hari kemerdekaan yang digapai melalui pertumpahan darah dan pertaruhan nyawa.

Setidaknya pada momen kali ini masyarakat Indonesia bangga untuk merayakan guna membangkitkan spirit jiwa kebangsaan dan juga menjadi ajang evaluasi total apakah hari ini kita merdeka dalam arti yang sebenarnya? Apakah sistem kehidupan kita sudah merdeka atau jangan-jangan sebetulnya kita masih dalam kungkungan tidak merdeka secara substansial?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hendaknya dimunculkan dan direfleksikan bersama di semua tempat dihelatnya HUT RI agar momen HUT RI yang ke 74  ini bisa menjadi media tafakkur kolektif bangsa untuk mengulik persoalan multi dimensi bangsa yang masih belum terselesaikan dengan baik sehingga pada gilirannya nikmat kemerdekaan bisa dirasakan semua masyarakat. Sejumlah kegagalan para pemegang kebijakan dalam menunaikan amanat konstitusi kemerdekaan bisa diperbaiki dan dilaksanakan secara lebih konkret dan menukik pada titik-titik yang masih dirasa timpang.

Peringatan kemerdekaan seharusnya tidak hanya terjebak pada selebrasi simbolik-seremonial saja tanpa menggali substansi. Diharapkan pada momentum ini menjadi jembatan menjemput ide solutif holistik guna menajamkan kesadaran bangsa dan para pemangku kebijakan dalam mencari pemecahan masalah kebangsaan. Maka sangat niscaya jika ini menjadi renungan bersama terutama para pemangku kebijakan sebagai pewaris konstitusi kemerdekaan sehingga kemerdekaan yang paripurna bisa dicapai.

Tampak fakta paradoks. Selebrasi kemerdekaan digadang di mana-mana sementara banyak rakyat miskin menderita dan menjerit kelaparan karena masih terjajah ketidakadilan pemerintah. Tentu tugas kita bersama untuk saling berkontribusi dan bereksplorasi sebagai bangsa untuk memperkuat kedaulatan dan kemandirian bangsa di mata dunia baik secara ekonomi, politik, kesehatan dan pendidikan. Begitu pun para pemangku kebijakan dan elit politik harus ikhtiar total dan membongkar kesadaran kolektif untuk menerjemahkan misi kemerdekaan secara nyata. Elit politik dan masyararakat sipil harus bersatu padu menyatukan tekad untuk membangun negeri dan berkarya sesuai dengan potensinya masing masing. Jika demikian adanya maka akan membawa dampak signifikan terhadap progresivitas pembangunan yang lebih berkeadilan.

Itulah refleksi yang harus dilakukan pada momentum kemerdekaan kali ini. Segenap masyarakat harus menggali substansi agar bisa menjawab problematika ketidakadilan bangsa. Di negeri yang kaya raya ini kita tidak ingin ada orang yang kelaparan dan menderita miskin karena korban kebijakan yang tidak memerdekakan. Rakyat yang hidup susah secara ekonomi tapi saat ini sedang bergembira menyambut hari kemerdekaan dan berusaha mengibarkan pusaka merah putih demi NKRI. Oleh sebab itu negara harus hadir mencarikan solusi bagi mereka.

Misi kemerdekasan harus menjadi batu loncatan bangsa merajut kehidupan ideal bersama. Jika gagal mewujudkan misi itu visibilitas Hut RI ke-74 hanya akan menjadi selebrasi yang menghadirkan hiburan obralan bagi bangsa.

Di sekolah peserta didik di samping dijamu dengan simbol-simbol kemerdekaan juga dikenalkan pada sosok pahlawan dengan cita-cita mulianya memerdekakan negeri ini tanpa pamrih. Mereka harus diajak berpikir substantif mengapa negeri ini harus merdeka. Tak kalah penting juga diajarkan untuk memiliki jiwa yang tulus. Bahwa mereka berjuang semata-mata ingin negeri ini tegak berdaulat. Cita cita mereka memerdekakan negeri ini bebas dari tujuan politik duniawi yang sifatnya temporal dan pragmatis. Mereka bersatu bulat demi membela tanah air sebagai tanggung jawab agama dan iktikad moralitas kebersamaan.

Formula kegiatan kemerdekaan yang berorientasi pada pengenalan peserta didik pada substansi kemerdekaan hasilnya akan membentuk mereka mampu berpikir kritis-transformatif dan akan menjadi patriot masa depan yang tangguh. Transformasi paradigma nilai-nilai kemerdekaan di sekolah akan memudahkan peserta didik menerjemahkannya pada realitas kehidupan konkret sehari-hari. Sebagaimana adagium,“The young today is the leader tomorrow.”

Penulis adalah penikmat kopi kemerdekaan tercatat sebagai alumni dan guru di Madrasah Nurul Jadid Jurun Daya.

Komentar