Perempuan, Cinta dan Kebahagiaan
Indotribun.id – Suatu malam, seorang teman berusaha menasihati saya tentang cara-cara smooth dalam mendekati seorang perempuan. Ia bicara nyaris setengah jam untuk topik itu dan saya hanya diam mendengarkan. “Kamu kan sering jadi pemateri, kalau ketemu cewek lakukanlah kontak mata. Tatap matanya. Bersikaplah seperti teman sejawat, biar tidak dianggap seniur terus,” katanya dengan muka serius.
Keesokan harinya, di balkon kantor, seorang kawan yang lain bicara tentang perempuan dan kebahagiaan. Sebelumnya, saya bercerita tentang seorang penulis novel yang bertemu kekasihnya di sebuah acara saat mereka masih sama-sama menjadi wartawan. “Kita,” katanya, “tidak akan bertemu dengan pasangan kita jika kita tidak melakukan pergerakan, aktivitas-aktivitas yang menuntut kita melakukan interaksi sosial. Boleh jadi, kamu bertemu dengan pasanganmu saat sedang diskusi buku.”
Bicara tentang pasangan hidup, kadang, bagi saya, adalah sesuatu yang ajaib. Ada beberapa pertanyaan yang selalu terbesit dalam kepala setiap kali saya menerima undangan dan atau menghadiri pesta pernikahan: di mana dan bagaimana sepasang kekasih itu bertemu dan bagaimana mereka meyakinkan diri untuk memutuskan menikah.
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya upaya investigatif saya untuk mengetahui bagaimana masing-masing orang bertemu dengan pasangan hidupnya. Itu saya lakukan bukan untuk meniru cara mereka dalam menemukan pasangan, karena saya yakin setiap orang memiliki cara dan tipu muslihat masing-masing, terutama laki-laki, dalam memerangkap seorang perempuan menjadi pasangan hidupnya.
Ada-ada saja yang dilakukan laki-laki dalam memperdaya perempuan. Ada yang mengajaknya ngopi, menasihatinya ini-itu seolah-olah ilmuan paling cakap di dunia, setelah muncul tanda-tanda si perempuan mulai kesemsem dan klepek–klepek, ia menembaknya tanpa ampun hingga si perempuan menerimanya begitu saja. Ada juga yang hanya bermodal gombalan-gombalan murahan. Melancarkan aksinya di Facebook, ketemu, jadian, habis itu lepas. Seolah bagi mereka meluluhkan hati perempuan adalah hal mudah. Padahal, ada yang bilang, semakin mudah cinta didapatkan, semakin cepat pula kisah asmara itu berakhir.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi tidak hendak dijadikan bahan dalam menentukan strategi dalam menjalin hubungan dengan perempuan. Tidak. Maksudnya, bukan semata-mata untuk itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari lubang rasa penasaran. Ini relevan sekali dengan syarat utama dalam belajar filsafat, yaitu rasa ingin tahu dan perenungan. Tidak akan timbul perenungan apabila tidak ada rasa keingintahuan yang tinggi mengenai sesuatu. Karenanya, saya setuju apabila Louis O. Kattsoff dalam bukunya Elements of Philosopy mengatakan, filsafat adalah hasil menjadi—sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi—kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya.
Dalam konteks ini, saya berupaya menilik lebih dalam bagaimana orang-orang bertemu dengan kekasih mereka dan meyakinkan diri bahwa kekasih mereka adalah orang yang tepat untuk dijadikan pasangan hidup (suami/istri) mereka. Ada yang menjawab, keyakinan untuk menikahi seorang perempuan datang seperti sebuah cahaya, bahwa di dalam diri perempuan itu ia melihat masa depan yang cerah. Ia yakin, hidup bersamanya adalah jalan yang akan mengantarkannya pada kesuksesan dan limpahan kebahagiaan. Ada juga yang menjawab, keputusan untuk menikah dipengaruhi oleh kondisi.
Entahlah! Kadang, keyakinan datang tanpa bisa dilogikakan. Sebagian orang tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan diri bahwa mereka menyukai seorang perempuan. Bahkan dengan melihat sekilas gerak-geriknya saja ia sudah merasa yakin telah mencintainya. Keyakinan seperti cinta yang datang begitu saja, kepada siapa saja, dalam kondisi dan situasi apa pun. Seolah ketika cinta itu datang kita tidak diperkenankan mundur satu langkah pun, karena mundur berarti bertindak kejam kepada diri sendiri.
Kadang, pikiran manusia terkoptasi pada satu aturan umum yang dianggap baku di tengah masyarakat: tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Ini hanya pepatah bijak, yang kemudian dijadikan salah satu senjata utama dalam berkenalan dengan orang lain, terutama bagi yang memiliki orientasi asmara. Proses dari kenal menjadi sayang, lalu dari sayang menjadi cinta tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Jika menonton acara pencarian pasangan yang tayang di Indosiar dan Antv, Take Me Out Indonesia, seolah mencari pasangan mudah sekali. Seperti mengambil seekor ayam untuk dipotong, main comot saja. Para perempuan tinggal membiarkan lampu tetap menyala apabila tertarik, dan mematikannya bila tidak tertarik. Tetapi untuk menuju singgasana pernikahan, mereka masih butuh waktu untuk saling menjajaki. Mereka percaya, apa yang terlihat di depan mata belum tentu seperti itu. Boleh jadi, masing-masing menyembunyikan sebuah rahasia untuk memperdaya calon pasangannya.
Tetapi, bahwa dalam menjalin sebuah hubungan tidak bisa dilakukan seperti saat membuat indomie memang benar. Ada tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui: dari kenal menjadi sayang, lalu dari sayang menjadi cinta. Apakah ketika sampai pada level cinta proses itu selesai? Tidak. Love should not be just a relationship, it should be a state of being.
Tahun 1973, Irwin Altman & Dalmas Taylor mengemukakan Social Penetration Theory, yang berbicara banyak tentang perkembangan kedekatan dalam sebuah hubungan. Dikatakan dalam teori tersebut, untuk menjalin hubungan dekat dengan seseorang kita harus mampu menjalani proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.”
Menurut Irwin Altman & Dalmas Taylor, berkenalan dengan orang lain ibarat mengupas kulit bawang merah. Kepribadian seseorang diibaratkan kulit bawang merah yang berlapis-lapis. Lapisan kulit terluar berisi kepribadian seseorang yang paling umum, yang terbuka bagi publik, tampilan-tampilan fisik yang sampai pada mata. Lapisan kulit yang lebih dalam adalah lapisan kepribadian seseorang yang besifat semiprivate. Berisi kepribadian yang tidak terbuka bagi semua orang, melainkan hanya untuk orang-orang tertentu. Lapisan kulit paling dalam berisi kepribadian di wilayah private, yaitu kepribadian tentang nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang masih menemui jalan buntu, emosi terpendam, dan sejenisnya. Karenanya, dalam realitas sosial, sangat tidak mungkin dua orang yang baru pertama kali bertemu langsung menyatakan perasaan agung bernama cinta kecuali jika hanya untuk mencipta tawa.
Dalam urusan mencintai seorang perempuan, Orhan Pamuk, dalam novelnya Salju, mengemukakan dua macam pria. Pertama, pria yang tidak akan jatuh cinta hingga ia mengetahui bagaimana si gadis menyantap sandwich—kalau di Indonesia: bagaimana si gadis makan cilok, sempol, lalapan, rujakan, apakah ketika makan bibirnya lari ke mana-mana, dan lain-lain—menyisir rambut, mengenakan parfum, omong kosong apa saja yang dipusingkannya, dan cerita-cerita macam apa yang dilontarkan orang lain tentangnya. Kedua, jenis pria yang bisa jatuh cinta pada seorang perempuan tanpa harus mengetahui apa pun tentang dirinya.
Anda—kalau yang membaca tulisan ini adalah laki-laki—termasuk jenis pria yang mana?
Di beberapa wilayah dan dalam kasus-kasus tertentu, kadang seseorang menikah tanpa melalui proses panjang demikian. Beberapa orang dijodohkan dengan perempuan atau laki-laki yang tidak mereka kenal dan pahami. Tapi pada akhirnya mereka menikah, hidup bahagia, dikaruniai anak dan cucu.
Pertanyaannya, bagaimana bisa kita mengukur kadar kebahagiaan seseorang? Kebahagiaan, yang tempatnya di dalam hati, sebuah tempat yang dalam dan tak terukur, tidak bisa diukur dengan hal-hal materi. Memiliki banyak anak dan cucu, rumah mewah dan mobil anyar, tidak bisa dijadikan ukuran sepasang kekasih bergelimang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sebentuk pemahamaan intersubjektif yang sulit didefinisikan. Kata-kata yang kerap diungkapkan, bahwa ia bahagia ketika pulang ke rumah ada yang menemani, membukakan pintu, ada yang menemani ketika solat dan berdoa, dan tetek bengek lainnya adalah definisi-definisi materi yang jauh dari definisi kebahagiaan itu sendiri.
Tetapi begitulah kemampuan manusia dalam mendefinisikan sekaligus mengungkapkan kebahagiaannya. Mungkinkah ada bahagia bila tak ada luka? Kebahagiaan dekat sekali dengan kepedihan. Boleh jadi, yang kita namakan sebagai kebahagiaan adalah irisan-irisan hidup di luar kedukaan. Atau sebenarnya, kebahagiaan adalah hasil rasa syukur manusia atas serangkaian luka-luka.








Comment